Setahun Lalu

Gadis itu duduk tenang di depan layar laptopnya yang menyala lemah. Jari-jari lentik tangan kanannya mengetuk pinggiran meja membentuk irama nada tak bermelodi. Matanya nampak sibuk menjelajahi apa yang ditampilkan oleh layar, sementara bibirnya berkedut tak menentu. Terkadang dia berdecak, terkadang lagi tersenyum tipis. Namun ada satu yang konstan dari penampilan gadis itu. Raut muka yang seakan tak percaya dan sedikit menyesal mengiringi setiap kata yang dia baca.

Sudah banyak lembar kenangan yang disaksikan matanya malam itu dan hampir semuanya mempunyai tag SETAHUN LALU. Merasa lelah membaca, dia mengistirahatkan matanya sejenak, namun mengijinkan pikirannya berkelana ke dimensi dimana semua itu terjadi. Tepatnya setahun yang lalu.

***

"Kita udah gak bisa sama-sama lagi, Nes. Keadaan udah banyak berubah. Kamu dan aku, kita udah bukan Agnes dan Radit yang dulu."

"Apa Dit? Apa yang berubah? Gak ada! Ini cuma ketakutan kamu aja. Kamu takut sama apa yang bakal kita hadapi nantinya. Iya kan?"

Radit menatap sayu mata Agnes yang basah karena air mata. Mereka sedang duduk berdampingan di depan kamar kos Radit, sebelah tangannya menggenggam tangan Agnes kuat-kuat.

"Tolong Dit, tolong jangan buat aku lebih menderita lagi sama sikap pengecut kamu ini." pinta Agnes lemah.

"Bukan karena aku pengecut, Nes. Aku cuma berusaha untuk realistis. Gak ada masa depan yang tersisa buat kita. Setidaknya untuk sekarang, kita cuma mampu sampai tahap ini."

Radit menghela nafas panjang dan kehabisan kata-kata. Mereka berdua larut dalam pikiran masing-masing, mulai bingung harus berkata apalagi untuk menyokong opini. Menit demi menit yang begitu menyiksa berlangsung cukup lama. Keheningan itu dipecahkan hanya dengan suara obrolan anak kos di sebelah kamar Radit dan juga penjual makanan yang lewat dengan gerobak berisik mereka.

"Apa salah aku, Dit? Tolong kamu bilang, kamu jujur. Untuk berhenti ditengah jalan seperti yang kamu mau sekarang ini bukan jalan keluar untuk kita."

"Kamu ga salah apa-apa, Nes. Gak ada yang salah. Aku udah mikirin ini selama beberapa minggu. Dan memang kita harus menempuh jalan ini. Aku udah gak bisa sama kamu lagi, Nes."

"Kamu tau kan Dit dua hari lagi aku berangkat?" tanya Agnes. Radit menengok dan kemudian memberi anggukan kecil dan lemah yang di ikuti oleh hembusan nafas panjang dari Agnes.

"Berarti kamu tega Dit karena ngelakuin ini semua ke aku disaat seperti ini. Kamu jahat!" Agnes melepaskan genggaman tangan Radit dan menghapus bulir-bulir air mata yang tersisa di sudut matanya. Dia hendak beranjak pergi saat kemudian Radit membuka suara yang hampir tak bisa di dengar oleh gadis itu sendiri.

"Nes, maafin Radit..." ujar Radit penuh penyesalan.

"Udahlah, gak perlu kamu minta maaf. Gak guna, Dit. Gak akan bikin kamu merubah pendirian kamu juga kan? Kamu mau kita udahan? Yaudah, aku bisa ngomong apalagi. Kita udahan sekarang." jawab Agnes dingin. Raut muka gadis itu berubah mengencang dan jelas sekali bahwa kekecewaan terpancar dari redup matanya yang berbekas air mata.

"Maafin Radit ya Nes. Radit gak pernah bermaksud buat nyakitin kamu kaya gini. Memang Radit yang jahat sama kamu. Maaf..."

"Dit, aku capek. Aku mau pulang."

"Aku anter kamu pulang ya, Nes. Untuk yang terakhir kali."

Agnes hanya bisa mengangguk lemah dan membiarkan hangatnya tangan Radit masuk kedalam jemarinya yang terasa begitu dingin. Mereka berjalan bersisihan tanpa ada suara lagi yang terucap. Walaupun sesungguhnya di dalam benak Agnes masih banyak sekali tanya yang tak terjawab, dia memilih untuk bungkam. Saat dia tersadar dari pikirannya yang ganas, mereka ternyata sudah sampai di depan pagar tempatnya tinggal. Dengan berat hati, gadis itu melepaskan genggaman tangan Radit. Namun Radit menahan tangannya, seakan tak rela membiarkan momen itu pergi. Radit kemudian mengecup kening Agnes, lama sekali, karena dia tau setelah malam ini semuanya hanya sekedar kenangan. Agnes pun kembali menangis dan kemudian tangan Radit sudah disana, menghapus tetes air mata yang mulai keluar lagi dari mata bengkak gadis itu.

"Kamu baik-baik ya nanti disana. Kabarin aku kalo kamu take off, Nes."

"I will. udah ya aku masuk sekarang. Sudah malam. Kamu hati-hati, Dit."jawab gadis itu cepat. Kemudian Agnes berlari masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Radit yang diam-diam meneteskan air mata.

 ***

Agnes membuka matanya yang terpejam. Tak terasa, nostalgia itu sudah berlangsung kurang lebih setengah jam. Agnes terpaku, berusaha mendalami tulisan-tulisan yang dilahirkannya tepat setelah berpisah dari Radit. Agnes sadar betapa lemah dirinya saat itu. Iya, memang tak bisa dipungkiri bahwa berpisah dari Radit merupakan suatu pukulan berat bagi Agnes. Apalagi kenyataan bahwa dia harus memulai hidup baru di negara asing yang tak dia kenali dan semua proses adaptasi yang dia jalani semakin membuat dirinya tersungkur. Namun itu setahun yang lalu. Itu Agnes yang dulu. Agnes yang sekarang sudah berbeda. Sudah banyak yang dilalui gadis itu dan bayangan tentang Radit pun tak pernah lagi singgah dalam benaknya. Agnes sudah bahagia sekarang dan dia sudah berhasil berdamai dengan masa lalunya yang cukup pahit. Gadis itu tersenyum, mematikan laptop dan beranjak meraih ponsel yang sedari tadi tergeletak di atas ranjangnya. Dia tersenyum lebar melihat foto seorang pria yang terpampang sebagai wallpaper ponselnya. Ya, itulah Gama. Pria yang berhasil meluluhkan hati Agnes yang seperti batu. Dan sekarang, Agnes sedang tersenyum memandangi masa depannya.

Comments

Post a Comment

Popular Posts